Cerita dari Seorang Perantau: Awal di Jakarta

Semasa kelas 3 SMA, yang ada dipikiran gue setelah lulus, nanti gue akan melanjutkan kuliah di Medan. Tapi takdir berkata lain. Ketika gue lulus, tepat disaat itu juga abang sulung gue menikah. Sekitar satu bulan setelah itu, dengan pelan Bapak gue mengatakan bahwa tahun ini gue gak melanjutkan kuliah, ditunda sampai tahun depan. Dengan keputusan begitu gue sedikit kecewa, tapi bagaimanapun gue harus tetap terima. Gue tersenyum, dalam hati gue berbisik, “yes. Gue libur selama setahun.”

Gue punya sepupu yang sudah lama merantau di Jakarta. Abang gue mencoba menghubunginya dan minta supaya gue bisa kesana, dengan tujuan cari kerja dan apabila memungkinkan gue melanjutkan kuliah. Dengan kalimat lainnya, “ini adik kita Titto, baru lulus SMA, gue mau dia ke Jakarta, supaya dia bisa ngerasain manis pahitnya kehidupan yang sesungguhnya.”

Beberapa hari sebelum gue berangkat ke Jakarta, gue mencoba membayangkan bagaimana situasi kota yang akan gue tuju. Mulai dari gue ngeliat di TV, internet, ternyata cewek Jakarta senangnya pake rok mini. Maklum, gue anak kampung, otaknya masih polos. Ya, paling gue mikir ribetnya cewek yang  pake rok mini itu disaat angin kencang melanda.

Bayangan Jakarta dipikiran gue saat itu, Kejam. Kejahatan terbesar yang ada di Indonesia sudah pasti ada di Jakarta. Kemiskinan, gelandangan, narkoba, pencopetan, pembunuhan , semua ada di Jakarta. Itu gambaran Jakarta bagi gue. Jadi kempesin ban motor guru killer waktu SMA tidak sebanding dengan kekejaman Jakarta.

Gue berangkat berdua dengan adiknya kakak ipar gue, namanya Juli. Jangan pernah mikir dia kelahiran bulan 7, gue gak tau kebenaran itu. Gue berangkat naik pesawat, mengadu nasib ke kota yang waktu kecil gue taunya cuman ‘disana ada monas’.

Dua hari setelah sampai di Jakarta, daerah Pondok Gede, gue bekerja di sebuah rumah makan klasik, yang butuh karyawan jujur seperti gue dan Juli,  yang selalu ngetrend di kalangan anak kost, yaitu ‘warteg’. Seminggu pertama gue kerja di sana, gue ngerasa udah dewasa, udah mandiri dan bisa cari duit sendiri. tapi setelah itu entah kenapa gue ngerasa bahwa gue lulusan SMA yang paling bego se-Indonesia, karna warteg gak butuh ijazah SMA. Warteg butuhnya kelincahan dalam motongin tempe orek sama kelihaian dalam ngeracik es teh manis.

Setiap jam 5 pagi gue dan Juli sudah harus sampai di rumah makan klasik itu. Motivasi yang selalu menghantui gue sehingga mampu untuk melawan grafitasi kasur pada jam segitu adalah, di Jakarta, gak kerja, gak makan. Gue yang selalu makan melebihi porsi menjadi kewajiban gue untuk bangun dan berangkat kerja.

Aktifitas gue dan Juli setiap paginya di tempat itu sama seperti di tempat lain, beres-beres. Mulai dari bersihin etalase, nyapu ngepel. Setelah itu kita berdua ngopi. Dari warteg itulah gue tau betapa nikmatnya ngopi di pagi hari.

Selesai beres-beres, biasanya gue dan Juli pergi ke pasar untuk belanja, layaknya ibu-ibu yang setiap pagi mencari bahan masakan untuk makanan nanti siang. Di setiap situasi hidup yang gue jalani, gue selalu mengambil sisi positif sebagai kekuatan gue agar tidak menyesal dan tidak merasa bosan dengan apa yang gue hadapi. Selama gue mondar-mandir setiap hari ke pasar, disitu gue tau bagaimana cara bergaul dengan orang Jakarta yang ada di pasar. Tata cara berbahasa dan kosakata sehari-hari banyak yang berbeda dari kampung gue. Gue juga jadi mahir cara menawar harga cabe merah, cumi asin, sama sayur kangkung.

Pernah suatu malam, sekitar jam 12an sepupu gue ngajak keluar malam muter-muterin jalanan di sekitar pasar yang biasa gue belanja. Dengan motor ‘blade’nya dia bawa dengan santai. Gue menikmati angin malam saat itu, dan melihat pemandangan yang dulu pernah terpikir oleh gue ketika masih di kampung. Gue bukan ngelihat cewek yang pake rok mini. Gue malah udah lupa dengan gambaran tentang itu, karna disini pakenya bukan rok mini, tapi celana pendek, pendek banget. Dan kemungkinan, orang baru yang gak biasa ngelihat itu, bingung ngebedain itu kolor apa celana. Pendeknya sama, bentuknya hampir sama. Mungkin warna dan bahannya doang yang agak beda. Kenapa bisa sampai ke pembahasan celana???

Malam itu gue ngelihat anak-anak remaja yang sedang duduk sambil tertawa kecil dan memainkan ukulele. Ada yang umuran SMP sedang duduk sendirian, sedang ngerokok sambil memainkan ukulelenya. Ada juga yang lagi tiduran. Pakaian mereka lusuh, dekil, celana sobek-sobek, pake sepatu. dalam hati gue cuman berkata ‘wooow’.  Gue tersenyum dan merasa bahagia ngelihat hal itu. Hal yang dulu cuman imajinasi, sekarang ada di depan mata. Ini Jakarta banget. Rasanya pengen dekatin mereka, trus gue salamin satu-satu, sambil berkata, “selamat, kalian telah merubah imajinasiku jadi nyata. Kalian yang membuat Jakarta punya khas. Karna kalian, pemandangannya sudah Jakarta banget.”

Kurang lebih tiga bulan gue tinggal bersama sepupu gue dan Juli, si anak yang kelahirannya belum tentu bulan 7 itu, gue pindah ke Kelapa Gading, Jakarta Utara. Gue keluar dari rumah makan ‘selera anak kost’ itu dan bekerja di sebuah ruko di di dalam mall kelapa gading. Gue merasa sudah mendapat pekerjaan yang layak sebagai makhluk lulusan SMA. Bukan lagi seperti pekerjaan sebelumnya. Tapi walauupun begitu, gue bakal tetap ingat bahwa warteg pernah terdaftar dalam sejarah hidup gue. Pelajaran berharga yang sempat gue dapet dari warteg, yang orang lain belum tentu bisa adalah motongin buncis harus miring, gak boleh lurus.

Seiring berjalannya waktu, gue semakin mengenal Jakarta. Gue menikmati setiap kejadian yang terjadi di kota ini. Hal-hal yang menurut gue aneh yang gak pernah gue temui ketika masih di kampung, keegoisan para manusia-manusia yang tinggal disini, segala keunikan dan kelucuan yang ada di kota ini, semua gue nikmatin. Semua itu bisa membuat gue tersenyum, karna hanya hal-hal seperti itu yang bisa meredakan rindu gue disaat kangen kampung.

***

Mungkin Kamu Suka

Patah Hati dalam Rangkaian Kata: "Patah Hati Yang Kau Berikan"

Selamat datang para pembaca setia, Kali ini, mari kita tertawa sedikit meskipun membahas sesuatu yang serius. Kita akan membahas puisi yan...