Showing posts with label My Diary. Show all posts
Showing posts with label My Diary. Show all posts

CERPEN - Tomi, suatu pagi

Tomi terbangun jam 4.48 pagi, sebelum alarm berbunyi. Tadi malam sebelum dia tidur, dia memasang alarm jam 5 pas di HPnya.

Dia mengambil HP dan tiduran kembali. “Waktuku masih ada 12 menit lagi,” gumam Tomi dalam hati sambil memainkan HPnya.

Beberapa menit kemudian, dia kembali merasakan ngantuk. Dia membuka alarm HPnya, kemudian mengganti waktu alarm menjadi jam 5.30, setelah itu dia menutup mata.

Semalam Tomi baru tidur jam setengah 2 dini hari. Ketika dia pulang kerja, dia terjebak hujan deras. Terpaksa dia menunggu hujan reda di depan teras tempat kerjanya, karena dia tidak memiliki mantel hujan. Saat ini memang sedang musim hujan. Tomi baru sampai di kontrakannya jam 1 malam.

“Waktu tidurku masih ada setengah jam lagi. Nggak perlu ngopi, nanti aja ngopinya di kerjaan.” Itu yang ada di pikiran Tomi sebelum dia tertidur.

Tomi bekerja di sebuah toko bakery kecil yang karyawannya hanya 3 orang. Hari ini Tomi mendapat giliran masuk pagi sendirian, jam 6.15. kedua temannya masuk jam 2 siang. Jadi, pagi ini, Tomilah yang bertanggung jawab di toko tempat dia bekerja.

Pekerjaan pagi di tempat kerja Tomi sebenarnya tidak berat. Hanya mengangkat roti dan bahan-bahan baku yang diantar oleh supir, kemudian membungkus roti dan melayani costumer yang berbelanja.

Tapi, supir yang mengantar roti dan bahan-bahan baku itu selalu datang tepat waktu. Jika supir datang sebelum karyawan toko yang masuk pagi datang, barang-barang akan ditinggalkan begitu saja di depan toko, kemudian keadaan toko yang masih tertutup akan difoto, dia akan melapor bos, besoknya karyawan toko akan dikenakan SP dengan alasan telat, dan akhirnya berujung pada gaji yang akan dipotong.

Hari-hari biasanya kalau Tomi masuk pagi, dia bangun 5.40. Dia langsung mandi, berangkat kerja jam 6 pas, dan sampai di toko jam 6.15 pas. Tempat kerja Tomi tidak begitu jauh dari kontrakannya.

***

Tomi terbangun jam 6.48.

Tomi langsung melek, dia sadar kalau dia telat bangun. Dia menyalakan HP yang berada di sebelah kanan kepalanya. Dia kaget melihat jam dan langsung berdiri. “Mati aku.” 2 kata yang keluar dari mulut Tomi dengan nada kecil.

Tomi langsung mengambil celana panjang yang digantung di belakang pintu kamarnya. Saking paniknya dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Beberapa detik setelah itu, dia menjatuhkan celana yang barusan dia ambil, kemudian dia mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi.

“Mandi atau cuci muka aja?” Pertanyaan sederhana muncul di dalam otaknya.

Dengan cepat dia mengambil keputusan, hanya menggosok gigi dan mencuci muka alakadarnya.

Dengan terburu-buru, Tomi keluar dari kamar mandi, masuk ke dalam kamarnya, dan berpakaian. Dia mengambil helm dan langsung berangkat kerja.

Selama di perjalanan, yang ada di pikiran Tomi hanya 1; sampai di tempat kerja.

Hanya dalam beberapa menit, Tomi sampai di toko. Di depan toko, dia melihat tumpukan barang-barang yang ditinggalkan supir. Suasana hatinya masih sangat kacau saat itu. Konsekuensi yang akan diterimanya melayang-layang di atas kepalanya.

***

Sekitar jam 8 pagi, ketika Tomi sedang membukus roti, supir datang dengan mobil boxnya.

“Surat tanda terima barang bro!!” supir teriak dari dalam mobil yang kacanya dibuka.

Tomi melihat ke arah datangnya suara. Dia mengenali mobil yang berhenti di depan tokonya, tapi tidak mengenal supirnya. Tomi berlari membawa kertas ke arah mobil itu. “Sorry bang, tadi saya telat,” kata Tomi meminta maaf sambil menyodorkan kertas yang diminta supir baru itu.

Supir itu menyahut, “Gapapa bro, santai aja. Namanya juga manusia.”
Tomi bertanya, “Abang baru?”
“Iya. Baru 3 hari yang lalu.”

Tomi masuk kembali ke dalam toko dengan hati lega, semua kekacauan yang ada di dalam pikirannya hilang. Dia merasa aman karena supir pagi ini supir baru. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya.

***


12 hari melawan hati

Aku sangat percaya bahwa cinta adalah anugerah Tuhan.

“Eh, btw bulan depan kita anniversary ke 2 tahun lho.” Dia mengingatkanku dengan hari jadian kami.
“Hehehehh... iya.”

Aku pacaran dengan seorang gadis cantik, manis dan jenong. Selama 2 tahun ini kami baik-baik saja. Hanya saja, satu-satunya yang menjadi masalah adalah kami beda iman. Dia seorang pengagum kota Mekkah, sedangkan aku pemakai kalung salib.

Kami membangun hubungan atas dasar saling suka dan tanpa memikirkan tujuan akhir. Kelihatan sekali, sebego apa kami memaknai kata ‘sayang’. Hubungan kami ini ibarat sebuah usaha yang kami bangun bersama; kami tahu untuk beberapa tahun ke depan usaha kami itu pasti bangkrut, kami akan pisah dan mecari parner lain masing-masing.

Kami berdua percaya bahwa cinta dan jodoh itu diatur sama Tuhan. Kami akan tetap berjalan sampai Tuhan menghentikan cinta itu dengan caraNya sendiri.

“2 tahun itu lama banget tau.”
“Hmm... 2 tahun. Menandakan kalau aku cowok setia.”
“Kamu mah cuman mikir 1 sisi doang. Kamu nggak mikir kalau aku juga?”
“Kamu kan orangnya cepat bosan. Jadi yang bikin kamu setia itu, aku. Hehehhe.”
“Dih... gitu.”
“Kamu mau apa di-anniv kita yang ke 2 tahun ini?”
“Emm... apa ya??”
“Btw, kalo materi aku nggak punya.”
“Trus kamu mau nawarin apa???”
“Tambah setia? Makin sayang? Kan itu bukan bagian dari materi.”
“Emm.... gak ada. Kamu?”
“Gak ada juga.”

Saat itu, kita saling tidak ingin membebani satu-sama lain. Walaupun dalam hati mungkin saling mengharapkan suatu surprise di hari yang spesial itu nantinya.

Beberapa hari setelah itu, terlintas di pikiranku tentang sebuah kata. Bahagia. Bahagia itu sederhana. Sesutu yang kita miliki, trus hilang, trus ketemu lagi, itu sudah membuat kita bahagia. Bahagia sesederhana itu.

12 hari sebelum tanggal spesial itu, aku ngechat dia, “Kamu lagi ngapain?”
“lagi siap-siap mau berangkat kerja.”
“Aku punya satu ide yang menarik.”
“Apa.”
“Sebelum tanggal anniv kita, kita jangan ada komunikasi ya. Kita saling block semua sosmed untuk sementara. 12 hari. Kamu bisa?”
“Hemm...”
“Jadi, kita jangan chatan selama 12 hari. Kayaknya rasa itu akhir-akhir ini makin tumbuh, kita coba untuk berhenti sementara. Ini kesempatan kamu juga menemukan jodoh. Siapa tahu Tuhan mengirimkan jodoh untuk kamu. Gapapa, coba untuk membuka hati aja. Kalau aku sih, paling akan menyibukkan diri dengan hobiku, menunggu sampai 12 hari ke depan.”
“Hem...”
“Gimana, kamu bisa kan?”
“Kamu pengen banget kayaknya?”
“Aku cuman ingin bahagia sih di hari anniv kita nanti.”
“Yaudah. Tapi janji, 12 hari lagi block dibuka ya.”
“Iya.”
“Mulai kapan?.”
“Sekarang.”
“Ya udah”
“Udah?”
“Udah.”
“Yaudah. Bye, i love u”

Ya, hari itu terakhir kali aku menghubunginya, terakhir kali mendapat kabar darinya sebelum hari anniversary kita.

Ini sebuah tantangan yang keren sih. Menantang sepasang hati untuk menyerah pada komitmen. Berani mengambil resiko yang melibatkan hati. Kalau masih memiliki rasa, kita berdua mendapatkan surprise di hari anniv. Tapi, kalau rasa itu hilang, mungkin di chattan terakhir itu aku terakhir mencintainya.

Untuk hati yang sedang diuji, selamat menanti.

26.10.2018

Kekuatan CINTA


‘Dia’ adalah orang yang sedang berteduh di ‘ruang kecil hatiku’ saat ini.

Hari itu aku off kerja. Seharian aku menghabiskan waktu di dalam kamar. Tiduran, main hp, nonton TV, sikat gigi. Banyak. Suasananya didukung oleh hujan yang mulai turun jam 6 sore.

Jam 10 malam, kakakku memintaku untuk menjemputnya. Dia kerja di sebuah mall tidak jauh dari kosku.

Aku mengambil jaket dan kunci motor, menembus hawa malam yang sangat dingin bekas hujan tadi. 10 menit aku sudah sampai disana.

Aku membuka hp, membaca chat WhatsApp yang masuk dari dia. “Kamu mau jemput aku gak malam ini?” Jam 10.30 dia pulang kerja juga.

Aku berpikir sebentar.

Dia kerja di sebuah mall yang berbeda dengan kakakku. Biasanya, 15 menit perjalanan aku sampai disana. Aku membayangkan hawa dingin yang akan aku rasakan seandainya aku menjemputnya malam itu. Intinya aku sedang malas.

Aku membalas chatnya, “Kamu naik grab ya. Malam ini aku nggak jemput kamu. Aku barusan jemput kakak dan malas keluar lagi.”

Dia membalas, “Yaudah. Gak apa-apa.” Biasanya kalimat seperti ini pake tanda kutip.

Beberapa menit kakakku datang dan kami pulang.

Sampai di depan gang tempat kami tinggal, aku meminta kakakku untuk turun. “Aku mau keluar lagi ya,” kataku.

Dia menjawab, “Iya.”

Aku memutar motor dan meninggalkan kakakku.

Di tengah perjalanan, aku berhenti dan membuka HP. Aku ngechat dia, “Tunggu aku. 5 menit lagi sampai.” Tanpa menunggu balasan chat itu, aku kembali menjalankan motor.

Aku sampai di depan mall tempat dia bekerja. “Aku sudah di depan.” Aku ngechat dia, mengabari kalau aku sudah sampai di depan mall.

Dia datang dengan senyuman. Dia naik dan kita pergi.

Di tengah jalan, dia bertanya, “Kamu tadi ngomong nggak jemput. Kok kamu jemput?”
Aku menjawab dengan cepat, “Karna cinta.”

Dia tersenyum, tapi aku malah kaget dengan jawabanku.
***

Proses Keterlibatanku di 17 Agustusan


Hari Minggu, tanggal 12/08 aku off kerja dan rencana gak kemana-mana. Jam 12 siang, teman dari Soin (teman kosku) mampir ke kosan sebelum dia berangkat kerja.

Kedatangan dia menghentikan aktifitas tidurku. Kita ngobrol beberapa topik yang nggak bermakna. Hingga sampai pada pertanyaannya yang lumayan berkesan, “Jadi lo kapan mau bikin video lagi?”

“Belum tau. Masih belum nemu ide.” Aku menjawab dengan santai.

“Bikin lagi dong. Apaan kek, tentang 17an gitu, atau tentang Asian Games.” Dia melemparkan satu ide sambil menyantap bakso yang tadi dia bawa.

Beberapa saat aku terdiam, dan memikirkan ide brilian darinya itu.

Aku berkata kepadanya, “Eh, lo pernah nggak, ngobrol sama seseorang yang nggak begitu penting dalam diri lo, trus nggak sengaja dia melemparkan sebuah kalimat yang sangat sepele, tapi kalimat itu bisa mengubah dan membuka pikiran lo?” Aku duduk dan sedikit tersenyum.

Dia menjawab, “Mungkin pernah, tapi gue lupa.”

Aku membetulkan posisi duduk dan mulai menatap dia dengan serius. “Kenapa gue nggak bikin video tentang 17an ya? Kenapa nggak kepikiran dari kemarin-kemarin ya? Ide bagus banget tuh!” Otakku mulai melayang-layang mikirin bagaimana konsep video yang akan aku bikin.

Sekitar jam 3 sore, ada satu temanku namanya Irwan main ke kosan. Basa-basi demi basa-basi, akhirnya kita sampai pada obrolan yang mengarah dengan rencanku membuat video. “Lo masih ngeyoutube gak To?”

Aku terdiam beberapa detik. “Masih. Kenapa?”

“Itu, Mas Feni lagi sibuk-sibuknya bikin video tuh. Kenapa gak gabung aja sama dia?” Dia menawarkan aku untuk kolaborasi dengan teman kerjanya.

“Boleh,” aku menjawab dengan nada kalem. Aku kenal dengan yang namanya Feni, tapi tidak begitu akrab. Mas Feni punya hobi yang sama denganku, membuat video.

“Sekarang dia udah punya drone, punya kamera juga.” Irwan menjelaskan sedikit tentang temannya  itu agar aku punya ketertarikan dengan tawarannya.

“Hari ini bang Feni masuk apa?” Aku biasa manggil laki-laki dewasa dengan ‘Abang’.

“Siang.”

“Ayo ke Champion sekarang.” Dengan semangat aku mengajak dia ke tempat kerja bang Feni saat itu juga.

Sampai di sana aku ngobrol dengan bang Feni panjang lebar, membahas tentang video-video youtube, dan membahas juga tentang rencana kolaborasi kita ke depan.

“Gini aja bang, kita bikin video tentang 17an. Tapi kita harus percepat, karna waktu udah lumayan mepet. Paling telat kita mengupload tanggal 16.” Aku menawarkan dia untuk ikut terlibat dalam video yang sedang aku rencain.

“Boleh juga tuh, tinggal kita mikirin konsepnya gimana.” Bang Feni setuju.

Tanpa pikir panjang, saat itu juga aku menemukan gambaran tentang video yang akan kita bikin. Kita akan membuat sajak dalam bentuk video yang berisi tentang kemerdekaan.

“Gini bang, aku udah nemu ide.” Aku tersenyum dengan ide yang barusan mampir ke pikiranku. “Kita bikin video puisi. Kita ngomong depan kamera rame-rame. Ntar puisinya gampang, biar aku bikin.”

“Kalo aku To, kita gibarin bendera gimana? Tapi kita pilih gedung tinggi, biar benderanya berkibar.” Bang Feni mengeluarkan idenya juga.

“Boleh juga tuh bang. Jadi kita bikin 2 video sekaligus. Gedung tinggi yang bisa dimana ya?”

“kalo itu aku belum tau. ITC Cempaka bisa gak ya? Di lantai atas parkiran mobil gitu.”

“Gak tau deh bang. Kita coba aja. Kita kasitau ke Satpamnya kalau kita bukan sedang nyari tempat untuk bunuh diri.”

Fix, kita berdua menemukan kesepakatan bahwa besok, tanggal 13 sore, kita akan bikin video.

Malamnya aku mulai menyibukkan diri dengan merangkai kata-kata sajak. Malam itu tercipta sekitar 7 bait. Aku menyuruh beberapa teman untuk membaca dan minta kritik terhadap sajak yang pembuatannya sangat buru-buru itu.

“To, ini sudah lumayan sih,” kata Soin, teman kosku.

“Aku nggak butuh pujian. Coba kasitau kekurangannya apa, dan kita revisi bareng-bareng apa yang kurang.”

“Jujur ya... Sebenarnya puisi kamu itu masih dalam kategori biasa-biasa aja. Gak ada yang wow. Kata-kata ginian mah udah biasa. Trus, ini kalau dibuat dalam bentuk video, kurang panjang. Paling cuman 1 menitan.” Soin mulai memberi kritik.

“Kita tambahin dong. Bantu aku nambahinnya. Kamu ada ide gak?”

“Mending kamu tidur dulu deh. Siapa tau besok kamu ada ide. Kalau aku sekarang, lagi gak fokus.” Bagaimana fokus, orang dia lagi asik main game.

Malam itu aku menuruti sarannya. Aku tidur. Sebenarnya jam 11 malam itu bagiku masih sangat dini untuk tidur malam. Yang ada dalam pikiranku hanya sebuah harapan agar besok pagi aku menemukan kalimat-kalimat wow.

Besok pagi, bang Feni memberitahu lewat chat WhatsApp kalau hari ini dia nggak bisa bikin video sesuai rencana karna dia punya rencana lain yang mendadak. Dia mau berlibur sama keluarga. Aku iyain karna hari itu aku memang belum siap. Kita menunda rencana jadi besok, tanggal 14.

Malamya aku duduk berdua dengan Soin di tempat tongkrongan biasa aku menemukan inspirasi. Aku pusing menyusun kata-kata wow, Soin sibuk push rank ML nya.

Dan akhirnya, selesai.

Aku juga mengajak temanku yang lain untuk terlibat dalam videoku. Selain Soin, aku mengajak Arif, si anak bajingan tetangga kosku, juga mengajak Dwi, anak Utara, dan Rini pacarnya. Rencanku, kita berlima di dalam layar, dan meneriakkan puisi yang aku buat.

Malam itu kita bermarkas di kamar Arif. Aku, Dwi dan Rini sibuk mencari musik yang pas untuk puisi yang telah aku buat, Soin sibuk main game, dan Arif tidur.

Malam itu rencana kita berlima mengambil rekaman suara untuk puisi itu satu persatu, tapi apa daya Rini ngantuk dan minta pulang. Kita bubar sekitar jam 2 pagi.

“Soin, anak-anak udah pada balik,” aku memberitahu Soin yang sudah balik ke kamar, dan masih dengan dunia gamenya.

Soin merespon, “Mereka udah rekaman belum?” Aku rasa dia malah nggak tau dia sedang nanya apa.

“Sudah. Tinggal kamu.” Aku jawab aja begitu biar dia semangat untuk rekaman juga.

“Yaudah, rekamanku mah ntar gampang. Besok kamu balik kerja, rekamanku udah siap.”

“Oke.”

Aku tidur dalam video yang sedang aku rencanakan.

Di hari berikutnya, hari yang telah ditentukan, aku buru-buru dari tempat kerja. Aku sampai di kos sekitar jam 3 sore. Aku melihat kos hening. Anak-anak kemana?

Yang ada hanya Arif yang sedang marah-marah karena kunci kamarnya dibawa oleh temannya, jadi dia gak bisa masuk. Aku menanyakan posisi Soin ada dimana via chat WA, katanya dia sedang berada di Sumur Batu, sebentar lagi mau balik. Aku chat Dwi dan Rini, kata Rini mereka sedang otw.

Setelah cuci muka dan sudah siap untuk berangkat ke tempat kerja bang Feni.

Aku pamit ke Arif yang sedang main HP di dalam kamarnya, yang sebelumnya dia sibuk memecah gembok kamarnya. “Ayo Rif.” Aku hanya basa-basi ke Arif, karena aku sudah tau dari semalam Arif gak tertarik dengan project ini.

“Lo jadi bikin video Tong.”

“Jadi Rif. Ayo!”

“Lah, gue belum mandi.”

 “Yaudah mandi aja dulu. Lo nyusul ya. Ntar gue kabarin posisi kita dimana.”

Aku berangkat sendirian. Dengan harapan, semua akan berjalan lancar hari ini.

Sampai di tempat kerja bang Feni, aku melihat dia sedang memainkan dronenya. Kita menentukan tempat kita akan bikin video.

“Jadi kita bikin video dimana To?” Bang Feni minta kejelasan tempat sambil mengendalikan drone yang sudah terbang entah kemana.

“Gue tetap pengennya di gedung tinggi sih bang. Tapi masalahnya, kita cuman berdua. Kemarin kita sepakat 5 orang, tapi sekarang pada gak jelas.”

“Kita ke taman jogging aja, ini kan perdana kita bikin video bareng. Jadi yang dekat-dekat aja dulu.”

Aku mengiyakan tempat rekomendari bang Feni. Sebelum berangkat, aku chat Dwi dan Rini menanyakan posisi mereka sudah dimana.

“Rin, lo udah dimana?”

“Gue udah di rumah Dwi kak.”

Beberapa menit hening, kemudian chat Rini masuk lagi, “Kak, sorry banget. Kakinya Dwi sakit. Kakinya kambuh lagi. Sorry banget ya, kayanya kita nggak bisa ikut.”

“oh yaudah. Gapapa Rin.” Menurutku, cuman orang mati yang gak merasa kecewa dengan keadaan seperti itu.

Aku berangkat ke taman jogging berdua dengan bang Feni. Sampai di sana, kita mencari parkiran, masuk, kemudian kita mencari posisi yang pas untuk memulai misi.

Kita menemukan tempat yang pas. Di samping pagar, sebelah jalan raya. Selain tempatnya yang agak luas, cocok untuk menerbangkan drone, juga di pagarnya banyak bendera yang berjejeran.

Disana kita membuat beberapa gambaran tentang video yang akan kita buat. Dan kesimpulannya bang Feni hanya sebagai pemegang kamera dan aku di dalam layar. Sebenarnya aku pengenya dia juga berada di dalam layar. Tapi, bang Feni menolak, katanya dia tidak pede di depan kamera.

Kita selesai sekitar jam 7 malam. Kita berdua kembali tempat kerja mas Feni. Dia pengen bakso yang ada di sebelah tempat dia kerja, juga aku mau mengambil file hasil rekaman tadi.

Semua berjalan lancar, dan aku pulang ke kosan sekitar jam 9 malam.

Sampai di kamar, aku tidak membuang-buang waktu lagi, aku langsung rekaman suara sendirian. Aku merekam 2 kali. Bagiku melewati rekaman 2 kali di dalam kamar itu, berasa 2 tahun. Karena was-was ada orang lewat dan berisik, juga takut tetangga akan terganggu dan datang membakarku hidup-hidup di dalam kamar.

Kebetulan, besoknya tanggal 15 aku off kerja, jadi aku menghabiskan malam itu di depan layar HP untuk mengedit. Sebagai manusia yang tak punya skil dalam berpuisi, aku sangat lama mengedit suaranya. Malam itu aku tidur sekitar jam 4 pagi.

Aku bangun jam 9 pagi, kembali menghadap ke project mulia. Aku kembali mendengar audio hasil editanku semalam, dan shit! Sangat jelek. Aku kembali mengedit ulang. Cuman membuat audio sudah menyita waktuku sangat lama. Sekitar jam 2 siang aku kelar, dan akhirnya aku tertidur.

Aku bangun sekitar jam 6 sore, kembali mengedit, dan shit lagi! Jaringan internet tidak bagus. Rencana untuk mendownload beberapa video kemerdekaan di internet terhambat oleh jaringan yang kaya tai. Dan kekesalanku saat itu berakhir dengan tidur lagi. Ya, tidur adalah bagian dari hobiku juga.

Aku terbangun kembali sekitar jam 8 malam. Aku cuci muka, ambil kunci motor, dan keluar untuk ngopi di tempat biasa aku menyendiri. Disana ketika aku sedang duduk dan mengotak-atik projek yang sedang aku buat, jaringannya mendadak bagus.

Sebuah kata syukur lewat di dalam otakku. Aku langsung buka google dan mendownload beberapa file yang aku perlukan. Aku melanjutkan mengedit di tempat itu, walau penuh dengan kebisingan suara motor. Sekitar jam 10 video dan audio kelar, aku balik ke kos. Berhubung juga karena batre HP ku sudah mulai sekarat.

Di atas motor, aku hanya memikirkan pekerjaan aku selanjutnya setelah sampai di kos.

Aku ngecas HP, dan membuka laptop, menonton video youtube, sambil menunggu batre HP ku bisa digunakan kembali.

Sekitar jam 12 malam, kembali aku mengedit. Di tahap terakhir itu aku mengedit dengan semangat dan sedikit berisik.

“Wah, udah nih... “ Soin memandangiku sambil senyum-senyum melihat tingkahku, karna dia tau kebiasaanku ketika setiap video yang aku edit hampir selesai.

“Yoiii.... “

Jam setengah 3an akhirnya kelar juga. Perjuanganku selama beberapa hari tidak sia-sia, beberapa kali aku memutar hasil video editanku, sengan senyum bangga. Dan akhirnya aku berbaring di samping kedua teman kosku yang sedang asik dengan dunia mimpi mereka masing-masing.

Tapi, namanya sedang bahagia, aku tidak bisa tidur. Sekitar 2 jam aku hanya berbaring tanpa tutup mata. Jam 4an aku memutuskan untuk bangun dan membuka laptop.

Aku mengupload ke dalam youtube hasil video itu, promosi ke berbagai media sosialku, dan akhirnya tenang.

Jam setengah 6 pagi, tanggal 16, aku mandi dan berangkat kerja.

Dari perjuanganku membuat video ini, aku merasa sudah ikut terlibat dalam merayakan hari kemerdekaan, dan juga merasakan perjuangan para pahlawan terdahulu, walaupun dalam bentuk yang berbeda.

Terima kasih telah berkunjung.
***

Sebuah KOMITMEN Membuat kita egois.

Selama bulan Juni, aku sudah membuat komitmen untuk membeli laptop nanti di awal bulan Juli. Mengumpulkan sisa uang dan irit seirit-iritnya agar niat itu tercapai. Makan di warteg kelas terbawah; kalau ke Indomaret, mencari Indomaret yang tidak ada tukang parkirnya; kalau kebelet kencing di tengah jalan, langsung buru-buru pulang ke kos, karna 90% toilet umum di Jakarta bayar 2 ribu; hingga bulan Julipun tiba.

Fix, uang sudah terkumpul. Targetnya ke Roxy, pusat elektronik di Jakarta Barat.

Beberapa hari sebelum berangkat ke Roxy, entah kenapa ada beberapa teman kampret yang hanya dengan modal muka lemas seperti orang paling miskin di dunia, menunda niatku bulan ini. Ada yang minjam segini, minjam segitu, serasa aku orang paling kaya di masa itu.

“To, kamu masih ada duit gak? Aku udah gak megang duit lagi. Kalau ada 250 ribu aku pinjam, 3 hari lagi aku ganti.”

“Gak ada. Duitku udah dipinjem, dan bulan ini aku rencana mau beli laptop. Sisanya paling untuk peganganku juga.”

“Kamu beli laptop kapan?”

“Dalam minggu ini.”

“Aku pinjem dulu, janji 3 hari langsung aku balikin,” dengan tatapan sangat meyakinkan seperti tukang hipnotis, dia menepuk pundakku, “Duitku udah gak ada, bantulah bro. Cuman 3 hari aku pakainya, berapa bunga kamu minta, ntar aku bayar.”

Aku yang perasaannya sangat halus dan sangat simpati terhadap orang lain, apalagi dengan mukanya yang lemas dan memprihatinkan, akhirnya aku iyain.

“Yaudah, janjimu 3 hari aku pegang ya.” Ini keputusan paling bego yang pernah kuambil dalam sejarah hidupku.

Hari berganti hari, sampai 3 hari berikutnyapun tiba. Aku ngechat si anak kampret itu via WA, mengingatkan janjinya. Semoga dia tidak amnesia.

“Bro, sorry. Aku kecewain kamu kali ini. Tolong kasih aku kesempatan. Dari temanku masih belum ditransfer sampai sekarang. Aku usahain besok sore kalau udah masuk ke rekeningku, langsung aku kasih ke kamu.” Dia membalas chatku setelah beberapa jam kemudian.

Jawaban yang lumayan kurangajar menurutku. Tapi sudah terlanjur. Aku salah mempercayai orang. Harusnya aku mempercayai orang yang mukanya lebih lemas dan lebih memohon dari si kampret itu.

Komitmen tetap komitmen. Aku tetap menghargai yang namanya komitmen. Akhirnya aku mengajak teman kostku untuk pergi ke Roxy. Namanya Arif. Dia tetangga kosku, punya helm Grab, dan dia geblek.

“Rif, temenin gue ke Roxy besok ya, gue mau beli laptop.”

“lu buat apa Tong? Lu mau kuliah?”

“iya Rif. Temeninn gue ya. Gue gak hafal jalan ke Roxy.”

“Siyaapp Tong. Gampang. Kita berangkat sore aja, soalnya besok gue masuk pagi.”

Besok sorenya kita berangkat ke Roxy. Aku yang mengira seorang Arif itu sudah sangat hafal jalanan ke Roxy, secara dia sering keliling jalanan Metropolitan, tapi ternyata tidak. Kita nyasar.

“Rif, gue nyalain google maps gak?” aku minta instuksi dari sang driver.

“Iya Tong, nyalain. Kita salah arah kayaknya. Ngomong mulu sih lu, jadinnya kita nyasar.” Ngelesnya kaya suara ibu-ibu yang kalah harga cabe 500 rupiah.

“Hubungannya apa anjing??!!!! Ngomgong aja kalo gak tau jalan,” untung aku cuman bergumam dalam hati.

Sekitar 20 menit setelah itu, kita sampai ke sebuah gedung bertulisan Roxy. Kita nyari parkiran, dan kita masuk.

“Rif, yang kita cari duluan toilet ya.”

Dari pintu masuk menuju ke toilet, orang-orang disana memperlakukan kita seperti artis.

“Mau cari apa mas?? Di tanya aja...”

“Sini mampir mas, mau cari HP merek apa?”

“Kita mau nyari toilet mba!!!”

Kita sampai di sebuah toilet yang sedikit aneh, modelnya seperti labirin. Sedikit berbelit-belit seperti masuk ke dalam gang kecil. Aku dan Arif tidak misah karna takut nyasar. Paling tidak kalau kita nyasar, kita masih bisa teriak minta tolong berdua, nangis berdua, dan cari jalan pulang berdua. Apasihh...

Kita naik ke lantai atas mencari arena laptop. Kita agak kaget dan bingung melihat hampir 80 persen ruko di dalam gedung itu ditutup.

“Rif, ini beneran Roxy kan? Kok hampa gini?”

“Gak tau Tong. Kita keliling aja dulu.” Arif juga merasakan hal yang sama.

Kita keliling di dalam gedung itu, mencari cayaha terang tempat laptop berada.

“Bentar, gue tanya Satpam aja.” Aku menghampiri seorang Satpam yang sedang duduk di samping eskalator.

“Pak, jual laptop di tempat ini kan ya?”

“iya mas. Adanya di sebelah sana.” Pak Satpamnya menunjuk arah yang tadi kita lewati.

“Kok pada sepi gini ya Pak? Apa emang cuman ini yang kebuka? Atau lagi pada libur?” Aku melempar bertubi-tubi pertanyaan ke Satpamnya, mengisyaratkan aku sedang kebingungan.

“Emang cuman gini mas. Setiap harinya seperti ini.” Pak Satpamnya sedikit bingung juga menjawab pertanyaanku.

Aku kembali ke Arif dan menceritakan informasi yang aku dapat dari Pak Satpam.

“Gimana nih. Kita cari kemana? Roxy sekarang PHP, terkenalnya pusat elektronik, tapi ternyata kosong” Arif mengajak untuk pindah tempat dengan muka agak kesal.

“Manga 2 aja Rif. 2 tahun yang lalu gue pernah main kesana. Laptop banyak juga disana. Ntar kalo gak nemu, terakhhir kita ke ITC, kan sekalian pulang.” Aku memberi rute perjalanan kita berikutnya.

Kita keluar gedung menuju perkiran mengambil motor. Sekitar 100 meter meninggalkan gedung itu, di sebelah kanan jalan kita melihat gedung yang lumayan mewah bertulisan ‘Roxy ITC’.

“anjing!!!! Rif, tadi kita salah gedung. Harusnya yang ini.” Aku nampol helm Arif dan menunjuk gedung itu.

“Iya njir.... hahahhahah.”

Tanpa basa-basi lagi, arif langsung putar balik dan menuju parkiran gedung yang kita cari-cari itu.

“Tong, tadi itu bukan Roxy yang PHP, tapi kita yang bego.”

Kita turun dari motor dan langsung menuju ke dalam gedung. Ternyata emang benar, kita berdua yang bego. Ini gedung Roxy sang Raja Elektronik yang sebenarnya.

Kita bertanya di beberapa toko, dan hasilnya hampir sama semua.

“Paling murah 3.5 juta Rif, dan gue cuman 3. Gimana ya?” aku dan Arif berdiri diam di pertengahan ruangan itu.

“Kita keluar dulu deh,” Arif melangkah ke luar pintu dan aku mengikuti dari belakang. Kita duduk di samping pot bunga yang berjejeran sedikit jauh dari pintu masuk.

“Jadi gimana Tong? Jadi kagak kita beli?” Arif meminta kepastian.

“Gak tau deh Rif. Duit gue kurang gope. Gimana ya?” Aku sedikit kecewa dengan perjalanan hari ini. Dan menyesal kenapa aku tidak googling tentang harga-harga laptop paling murah sebelumnya, minimal kita tidak mengahabiskan waktu setengah hari dengan sia-sia di tempat ini.

“Gini aja Tong, duit itu lu simpan, bulan depan kita kesini lagi. Sabar!” Arif memberi solusi klasik.

“hakhhh..... Yaudah deh. Mau gimana lagi. Mungkin Tuhan punya kehendak lain.”

Kalau sudah membawa nama yang Kuasa, Arif cuman bisa tersenyum.

“Yaudah, ayo balik. Kita nyari makan.” Arif memecah keheningan yang terjadi selama beberapa menit.

Kita berdua jalan menuju parkir. Pulang.

Aku dalam perkara megang duit, tipe boros. Jadi, wajar kalau aku sangat was-was dengan ATM berisi komitmen ini. Dan satu-satunya cara paling efektif, meminjamkan duitku ke beberapa teman yang aku percaya.

Di awal bulan Agustus, ‘situasi dan kondisi’ berpihak kepadaku. Duitku utuh, dan aku siap kembali menjelajahi Roxy.

Lagi-lagi aku menyiksa Arif untuk menjadi driverku berangkat kesana. Tapi masalah baru datang, 3 jadwalku bentrok.

Hari itu hari Sabtu, 4 Agustus.

Tiga hari yang lalu aku sudah memastikan ke Arif kalau jadwal berpetualang ke Roxy, besok, hari Minggu, karna itu jadwal off-ku. Tapi, karna masalah lain terpaksa aku mengundur di hari Sabtu, mengingat Minggu dan beberapa hari kedepannya aku akan lembur. Revisi ini terjadi di pagi hari.

Sementara, H-1 salah satu temanku mengabarkan kalau kita akan meet-up jam 5 sore, besok, hari Sabtu.

Dan yang lumayan gokil, aku sudah janji ke ‘sang kekasih’, si jodoh orang lain, kalau malam minggu kita akan jalan.

Rencananya aku akan menepati ke tiga-tiganya. Jam 3 sore aku pulang dari kerjaan dan langsung menuju Roxy, jam 5 balik dan langsung meet-up sama teman-teman, dan jam 7 malam meluncur ke janji terakhir.

“Rif, ayo. Kita langsung cus.” Aku langsung bangunin Arif yang lagi malas-malasan di kamarnya karna hari itu dia off.

“Yaudah ayo. Cepet kan? Jam 5 kita ngumpul loh.”

“Kalo ke Roxy sempat gak ya?” Aku menatap Arif yang masih terdiam di kasur. “Atau nggak kita ke Mangga 2 aja.” Aku memberi pilihan lain.

“Yaudah, gue mah oke-oke aja Tong.”

Dari beberapa temanku, hanya Arif yang selalu setia untuk jadi driver dan rela menemaniku kemana aja. Tapi kita bukan homo.

Setelah kita berdua sudah siap, kita langsung menuju Mangga 2.

Sialnya, yang kita harapkan di Mangga 2 ternyata zonk. Kita muter-muter sekitar 1 jam di dalam gedung biadab itu dan hasilnya nihil.

“gimana nih Rif, udah jam 5 lewat.” Aku mengkhawatirkan janjiku yang berikutnya.

Sementara saat itu, HP ku bunyi, ditelpon oleh teman yang sudah pada ngumpul.

“Tong lu ada dimana?” tanya temanku di dalam telpon.

“Gue lagi di luar sama Arif cuy, tadi mendadak, bentar lagi kita balik.”

Sambungan telppon dimatiin, gak tau lagi kesal atau apa, yang pasti di ujung-ujung omongannya, kedengaran nada agak tinggi.

“Rif, kita gimana? Lu mau kita balik apa lanjut ke Roxy?”

“Kalo menurut gue Tong, kita balik aja. Jarang-jarang kan kita ngumpul sama anak-anak.” Arif sepertinya 70% pengen balik dan menunda perjalanan yang sudah setengah jalan ini.

“Kalo gue, pengen lanjut ke Roxy.” Aku menyahuti pendapat Arif.

“Tapi gue sih terserah. Gue lagi bareng lo sekarang. Jadi, mau lo gimana, gue ikut aja.”

Ini karakter yang aku suka dari seorang Arif. Walaupun aku sedikit terlihat egois, tapi Arif tetap ada bersamaku. Dan kita bukan homo.

Kita langsung cus ke Roxy, masih dengan bantuan google maps.

Sampai di sana, kita bertanya di beberapa toko, dan akhirnya nemu yang pas. HP ku dan HP Arif mengalami krisis batery, jadi kita tidak tau segala konsekuensi yang terjadi atas keputusan yang kita ambil berdua untuk tidak meet-up sama teman-teman.

Menunggu proses instal beberapa program di laptop yang akan kita bawa, di sana kita lumayan lama. kita balik dari sana sekitar jam 8 malam.

“Kita kemana setelah ini, terserah lo Rif.” Aku melepas perjalan berikutnya ke tangan Arif.

“Kita ke Sunter Tong, nyari makan.”

“Oke boss!!”

Kita berdua makan dan nongkrong di Sunter layaknya LGBT yang lagi menjalin kasih di malam Minggu. Banyak cerita tercurahkan bercampur dengan kuah soto yang kita makan.

Kita pulang dan sampai di kost sekitar jam 10 malam.

Aku ngecas dan menyalakan HP. Membuka beberapa chat masuk dan panggilan tak terjawab dari ‘si jenong, bidadari tak bersayap itu’. Wowww... aku lupa sama janji yang ketiga.

Kayaknya anak itu ngambek lagi! Siap-siap aja untuk tidak bertukar kabar beberapa hari ke depan.

Beberapa hari berikutnya, aku bercerita kepada teman-teman dan orang-orang yang merasa aku kecewain saat itu; bahwa semua itu hanya karna komitmen.

Saat itu aku punya 2 janji, janji pada diri-sendiri dan janji pada orang lain. Aku tidak bisa menepati kedua-duanya disaat yang besamaan. Ketika aku menepati salah satunya, maka salah satu juga akan tertunda. Dan dalam kondisi seperti itu, aku memilih komitmen, janji pada diri sendiri. Semoga mereka paham.

***

Tragedi nongkrong di bawah pohon

Hari itu, hari pertama aku cuti setelah lembur kerja selama 8 hari.  Tau kan rasanya lembur 8 hari? Jam istrahat sudah sangat di bawah rata-rata. Saatnya aku membalasnya, menikmati tidur sepanjang hari, sampai badan pegal karna guling-guling gak jelas di atas kasur.

Malamnya, aku mulai menyadari bahwa kehidupan di dalam kamar seharian sama sekali tidak berfaedah. Aku mengajak Soin, teman kos ku, untuk nongkrong di tempat biasa aku menyendiri. Menikmati segelas kopi dan suara brisik motor yang lalu-lalang di hadapan kita berdua. Aku rasa, itu lebih sedikit berfaedah.

Aku dan Soin menikmati sedikit demi sedikit kopi itu sambil main hp. Melihat status whattsApp makhluk-makhluk yang ada di kontak HPku.

"Eh, temanku tadi pulang sore ya, pantes statusnya lagi jalan-jalan. Aku ajak kesini ah." Tatapanku masih di layar HP ketika aku ngomong begitu.

Salah satu teman kerjaku namanya Rini. Dia asik, dan berjidat lebar. Cowonya orang Jakarta, berkulit hitam dan pea, namanya Dwi. Aku tau itu karna dia sering main ke tempat kerjaku untuk menjemput Rini.

Sedikit tentang cowo Rini, orangnya petakilan, dan pedenya tinggi. Bagi Dwi, dikatain hitam bukanlah hinaan, tapi kebanggaan.

Aku langsung chat Rini untuk nanya posisinya sedang dimana, dan ngajak ke tempat aku ngopi.

Rini membalas dengan mengirim foto. Foto mukanya yang sedang di atas motor, dengan pemandangan di belakangnya monas. Modelnya agak blur gitu, Rini gak cocok jadi fotografer kalau lagi di atas motor.

"Teman kamu yang mana To?" Soin bertanya.

"Yang cewe, kamu belum pernah liat. Dia asik. Dia lagi jalan sama cowonya. Cowonya asik juga."

"Emang mereka lagi dimana?"

"Lagi di Monas kayaknya."

"Ngapain?"

"Gak tau, mulung kali!"

Rini kembali ngechat aku dan bertanya aku ada dimana. Aku membalas dengan share location ke Rini. Dia otw.

Sambil menunggu Rini dan cowonya, kopi pertama habis dan kita berdua memesan kopi baru lagi.

Belum sempat aku seduh, mereka datang. Seperti layaknya cowo pada umumnya, cowonya Rini turun dari motor dan sok asik menyapa kita berdua. "Oyy whats up!!!," sambil salto 3 kali trus nyalamin kita berdua.

"Sok asik lu," aku balas sambil persilahkan dia duduk.

Aku berdiri sambil melepas sedikit penat yang terasa di pantatku karna kelamaan duduk. Gak sengaja kopi jatah ke 2 ku kesenggol dan tumpah.

"Yahhh... tumpah. Sayang banget belum diseduh," aku bergumam dengan ekspresi kecewa yang sangat dalam.

"Mau kopi apa? Sekalian aku mesan kopi lagi." Aku seperti tuan rumah menawarkan mereka berdua minum.

"ABC," dengan bangga cowonya Rini Menyebut nama kopi kesukaannya, seolah itu merek kopi terbaik dan pilihannya tepat.

"Lo apa Rin?" Aku nanya ke Rini juga, yang pas datang langsung duduk, buka HP, trus selfie.

"Susu aja dia mah," cowonya menjawab pertanyaan hang harusnya aku tujukan ke Rini.

Kemudian aku memesan kopi ke 3 ku dan juga kopi mereka berdua.

Biasanya kalau nongkrong begini, aku lebih suka berhadap-hadapan sama lawan bicara dari pada duduk berjejeran sembil membengkokkan leher ke kiri untuk menatap lawan bicara. Apalagi kalau penuh dengan canda tawa, bayaran yang kita keluarkan dan yang kita dapatkan untuk apresiasi terhadap lawakan-lawakan receh yang terselip dalam omongan kita saat berdialog bareng-bareng, lebih sempurna kalau kita berhadap-hadapan. Itu sebabnya aku lebih memilih duduk di bawah pohon yang ada di hadapan mereka.

Paragraf yang barusan, sama kaya 'cewe kasih kode', susah dipahami.

Sebenarnya ini pertama aku nongkrong bersama Dwi. Kita beradu argumen-argumen konyol layaknya 2 orang pecicilan bertemu. Kita bertiga saling mengeluarkan lawakan-lawakan receh, sedangkan Rini sibuk selfie.

Bagi Rini selfie itu kebutuhan, setelah pangan, sandang dan papan.

Sekitar 1 setengah jam kita disana, aku seperti merasa ada yang beda. Rasa pusing agak berasa di kepalaku, tapi aku tidak menghiraukan itu. Aku berdiri dari tempat duduk, dan pusing itu semakin ada.

'Kenapa harus pusing sih disaat lagi asik-asiknya gini?' aku bergumam dalam hati. 'Anjir, efek belum makan seharian ini kayaknya' aku baru sadar kalau seharian itu aku cuman makan popmie.

"Gue balik duluan ya, gue pusing banget," aku ngerasa kalau pusingku makin nambah.

"Lo kenapa To, lo pucat loh!" Dwi ngeliatin aku sambil ngeledekin kecil gitu.

"Iya ka, mukanya pucat banget tuh," Rini juga nyahut dan memandang anak-anak yang lain untuk meminta persetujuan atas argumennya.

"Soin, kita balik gih. Kamu yang bawa motor," aku nyodorin kunci motor ke Soin.

"Yaudah To, kita juga mau balik. Buru sana, takut lo mati disini," Dwi dengan muka bahagia nyuruh aku balik. Dia seperti mendapat bahan ledekin baru saat bertemu aku selanjutnya.

Aku naik motor, dibonceng sama Soin, sambil pamit ke mereka berdua.

Di jalan aku hanya diam di motor.

Sampai kos aku langsung berbaring, menenangkan tubuhku sebentar. Sementara Soin, tidak langsung ke kos. Sepertinya dia tau apa yang aku butuh. Memesan 2 nasi goreng.

Soin datang dan menyuguhkan obat yang dia bawa. Aku bangun, dan makan. Entah kenapa pusing dan pucatku langsung hilang. Saat itu aku menyimpulkan bahwa nasi goreng selain mengobati rasa lapar, juga bisa mengobati rasa pusing dan muka pucat.

Selanjutnya aku hanya bisa pasrah menerima ledekan dari Dwi, si anak keling. Dimana hubungan antara kopi dan pohon adalah pucat.
***

Penikmat lembur LEBARAN

"Di, lo mulai libur tanggal berapa?"

"Kayaknya tanggal 13 bang, tanggal 12 gue terakhir masuk."

Berhubung karna gue nonmuslim, setiap tahun di hari lebaran, gue selalu tersiksa untuk lembur karna teman-teman kerja gue yang lain mudik.

Gue kerja di sebuah toko bakery, di daerah Jakarta Utara.

Gue berempat di sana. Beruntung yang 2 orang masih anak training, Aldi dan Rini, mereka belum dapat jatah cuti lebaran. Ardi cuti, gue, Aldi dan Rini menikmati bahagia di sela derita selama lebaran kali ini.

Karna mereka berdua masih baru, mereka belum bisa mengerjakan semuanya. Masih perlu didampingi, jadi tepaksa masa-masa itu gue wajib lembur dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam. Masa cuti 8 hari, terpaksa gue lembur full 8 hari, nikmat sekali.

"Ardi libur 8 hari, gue lembur dari pagi sampai malam gak mungkin selama 8 hari juga. Paling ntar lembur 3 hari, setelah itu sehari gue minta siang. Gue gak mau pingsan karna kecapean. Jadi lo berdua usahain untuk bisa ngerjain kerjaan pagi. Yang gak tau, nanya." Sebelum gue tepar, gue nitip pesan sama ke 2 partner gue.

"Kita mah udah bisa semua bray. Tinggal input DO, revisi barang, belum bisa. Sama packing kita kewalahan kalo pagi sendirian," Dengan pedenya Aldi yang udah 3 minggu traning ngomong begitu.

"Itu mah belum bisa semua kambing!!! Gak usah ngomong! Usahain harus bisa. Usahain... usahainn.... usahainn...." Gue ngomong agak drama sedikit, agar lebih menyentuh. Seolah kata 'usahain' itu sama dengan 'gue gak mau mati di lebaran ini'.

Gue melewati tanggal 13 dengan lembur sempurna. Aldi nemenin gue dari pagi sampai sore, dan Rini nemenin gue dari sore sampai malam. Yang gue suka dari mereka, keduanya bisa diajak kerja secara team. Gue ke toilet 2 jam gak masalah, katanya 'kalau lembur seharian, ke toilet 2 jam gak apa-apa'.

Tanggal 14 musibah datang. Gue bangun kesiangan. Jam 6.50 pagi. Gue telat. Gue bangun, ambil baju kaos, ambil kunci motor, ambil helm, cabut. Dari kos ke tempat kerjaan kurang lebih 10 menit. Sampai di sana gue buka pintu, anjir gue kaget. kagetnya gue saat itu sama kaya lagi duduk ketawa-ketawa sama pacar, tiba-tiba dia ngomong 'kita putus'. Gitu. Ternyata Aldi sudah datang, sudah ada di dalam dan lagi packing. "Lo ngapain ke sini bray?" Dia kaget juga ngeliat gue datang cuman pake celana pendek dan jidat masih bertuliskan 'bantal'.

"Harusnya hari ini gue lembur. Gue kira lu gak bawa kunci. Sorry, gue telat bangun."

"Gue punya kunci bray. Kan di laci ada 1 lagi, itu gue dikasih Ardi."

"Ooh. Gue balik dulu berarti. Mau mandi sama ganti baju."

"Lu kesini gak sekalian bawa handuk aja tadi bray, mandi disini aja."

"Garing lo!"

Gue balik lagi ke kos, bawa motor dengan santai. Sepertinya gue baru benar-benar bangun saat itu. Gue senyum-senyum sendiri sama kebegoan gue barusan.

Gue berangkat kerja untuk kedua kalinya jam 9 pagi. Dengan tidur yang cukup gue bisa melewati hari itu sampai malam dengan semangat.

Tanggal 15, di hari lebaran pertama, mulai kerja jam 10 pagi. Kita bertiga, para makhluk strong, yang tidak kenal lelah dan tidak kenal tanggal merah, berangkat di jam yang sama. Sebagai warga Indonesia yang baik, gue dan Aldi sampai di tempat kerja jam setengah 11, sedangkan Rini jam 10. Tapi karna Rini gak megang kunci, setengah jam dia cuman bisa nunggu di luar, sambil mondar-mandir gak jelas menanti kedatangan kita berdua. Ketika gue datang dan naroh motor di parkiran, Rini ada di sana. Gak tau dia ngapain di parkiran, dan gak tau juga ada berapa ban motor yang dia kempesin disana karna bete nunggu kita.

Seperti sudah direncanakan untuk telat, Aldi juga sampai di parkiran. "Lo baru datang kambing?" Sapaan perdana gue bukan selamat lebaran.


"Lo juga kan?" Aldi membalas sambil buka helm.

"Gue mah dari tadi. Rini ngapain dah di parkiran, bawa motor juga enggak."

"Gue dari jam 10 datang tau, gak tau gue mau ngapain. Makanya gue kesini aja," Rini ngomong sambil kita bertiga jalan menuju toko.

Abis naroh tas, Aldi ngeluarin makanan yang dia bawa dari rumah. Ketupat sayur. "Nih, gue bawa makanan bray, mak gue masak."

"Eh bray, selamat idul fitri ya," basa-basi gue sambil kita bertiga salaman. Mamanya Aldi paham banget kalo pagi ini gue belum sarapan.

Gue dan Aldi sibuk ngabisin makanan, sedangkan Rini sibuk berfoto.

"Udah kenyang Rin?"

"Belum, 5 foto lagi."

Iya, efek lembur di hari libur, kita suka gak nyambung.

Hari itu kita menghabiskan waktu dengan ceria. Kalimat 'selamat idul fitri' bertebaran dimana-mana, setelah kata THR yang sebelumnya jadi tranding teratas di semua jejaring sosial.

"Gak tutup mas?" Banyak dari costumer melempar pertanyaan begitu.

"Enggak bu. Kita cuti ganti-gantian. Nanti setelah siksaan ini, kita cuti juga," Gue selalu menjawab dengan kalimat yang sama.

Tanggal 16 dan 17, gue lembur full tanpa telat bangun. Nasi padang yang ada di sebelah toko selalu peduli sama perut gue di setiap jam 12 siang. Dengan harga 15 ribu, sudah bisa membuat perut gue buncit kembali dan juga membuat gue jadi bego untuk beberapa jam ke depan.

"Ini isi apa ya?" Salah satu costumer nanya bolu yang kita pajang di depan kasir.

"Emmm.. itu isi ayam bu," gue menjawab setengah sadar.

"Bolu coklat... geblekk, apaan isi ayammmm... " Rini langsung sambar sambil ketawa ngakak.

"Eh sory sorry, iya bolu coklat bu," Gue sambil ketawa juga menertawakan kebegoan gue sendiri.

"Ah... gegara nasi padang nihh.." menyalahkan nasi padang adalah tindakan yang paling tepat saat itu.

"Gila lu ka.." Rini ngetawain gue sambil beresin pesanan costumer itu.

Dari kejadian tersebut, gue harus mengakui bahwa kenyang benar-benar bikin bego. Itu bukan mitos, tapi fakta.

Ternyata strong gue cuman bisa 2 hari, tanggal 18 gue bangun kesiangan dan masuk midle jam 10 pagi. Rini sianak training yang teguh pada teori 'kesetaraan gender' tidak mempermasalahkan kesendiriannya masuk pagi. Angkat barang sendiri, packing sendiri, sambil menikmati lagu 'SYANTIK'.

"Asik, keren banget Rini. Udah bisa sendirian pagi. Keren," pujian yang gue lempar semata-mata cuman untuk membuat Rini bangga dan tidak menyalahkan gue karna midle ga ada konfirmasi sebelumnya.

"Tadi pagi gue kewalahan Ka. Angkat tenong sendirian, mana costumernya rame, receh di kasir abis pula," untung ketika ngomong gitu Rini gak meneteskan air mata.

"Oke BOSS, gue nyari receh sekarang."

Gue langsung otw ke pom bensin untuk nuker receh. Gue ngeri Rini kesurupan uang logam saking kebutuhan recehnya tidak terpenuhi.

Tanggal 19 gue masih melakukan kesalahan yang sama. Bangun telat dan midle lagi. Sepertinya Rini sudah paham kalau power gue lemah. Jadi sendirian pagi bagi dia tidak ada masalah. Itulah Rini, cewek jenong, petakilan, dan partner kerja yang baik, pengertian dengan kondisi gue. Berbeda dengan Aldi yang kadang telat masuk kerja hanya karna pergi ke rumah pacarnya dulu sebelum berangkat. Katanya dia wajib cium kening cewenya terlebih dahulu sebelum kerja, biar romantis. Dia ngomong gitu di depan gue sama Rini. Kita berdua dengerinnya sambil muntah-muntah. Romantis kagak, jijik iya.

"Ardi, lo mulai masuk kerja tanggal berapa?" Gue ngechat Ardi via whattsApp.

"Kayaknya tanggal 21 bang,"

"Ok."

Gue chat Ardi cuman mau mastiin siksaan dunia ini berakhir sampai kapan.

Tanggal 20 gue berangkat pagi, sebagai akhir dari keseruan ini. Gue lembur sampai jam 10 malam.

Gue mengatakan kepada kedua partner sejati gue bahwa yang boleh libur duluan setelah ini, gue. "Besok Ardi mulai masuk. Dia masuk pagi sama Rini, gue siang sama Aldi. Dan lusanya gue cuti. Hahahahha," gue ketawa jahat. Sambil guling-guling di lantai.

"Gue mah ntar bulan depan aja. Sekalian pulang kampung," Rini menimpali.

"Gue duluan dong, gue juga mau libur," Aldi kayak gak terima Rini yang libur setelah gue cuti.

"Berantem aja oy.. jambak aja, jambak," gue setiap ngeliat mereka berdebat, seru. Mereka selalu memperdebatkan hal-hal kecil.

Hari berganti, Ardi masuk kerja. Harapan gue minta oleh-oleh darinya, sirna setelah ngeliat mukanya yang lemes tak berdaya. "Gue di kampung gak ngapa-ngapain bang. Gak jalan-jalan sama sekali. Orang gak megang duit. Seruan disini," Ardi malah menyuguhkan curhatan-curhatan klasik untuk menutupi kesalahannya; tidak membawa buah tangan.

Gue balas aja dengan curhatan gue juga. Bercerita tentang apa yang kita alami selama 8 hari ini.

Oleh-oleh Ardi gak ada, yang dia bawa cuman canda tawa dan kerelaannya dihina sebagai jones sama Rini. Karna kebetulan Ardi baru putus dari ceweknya.

Tanggal 22 gue mulai cuti. Gue gak ada kesibukan lain. Gak kemana-mana, cuman menikmati libur di kos, dan menyibukkan diri dengan menulis tulisan ini.

Terima kasih telah membaca.
***

Mungkin Kamu Suka

Patah Hati dalam Rangkaian Kata: "Patah Hati Yang Kau Berikan"

Selamat datang para pembaca setia, Kali ini, mari kita tertawa sedikit meskipun membahas sesuatu yang serius. Kita akan membahas puisi yan...