Selama bulan Juni, aku sudah membuat komitmen untuk membeli laptop nanti
di awal bulan Juli. Mengumpulkan sisa uang dan irit seirit-iritnya agar niat
itu tercapai. Makan di warteg kelas terbawah; kalau ke Indomaret, mencari Indomaret
yang tidak ada tukang parkirnya; kalau kebelet kencing di tengah jalan,
langsung buru-buru pulang ke kos, karna 90% toilet umum di Jakarta bayar 2
ribu; hingga bulan Julipun tiba.
Fix, uang sudah terkumpul. Targetnya ke Roxy, pusat elektronik di Jakarta Barat.
Beberapa hari sebelum berangkat ke Roxy, entah kenapa ada beberapa teman
kampret yang hanya dengan modal muka lemas seperti orang paling miskin di
dunia, menunda niatku bulan ini. Ada yang minjam segini, minjam segitu, serasa
aku orang paling kaya di masa itu.
“To, kamu masih ada duit gak? Aku udah gak megang duit lagi. Kalau ada
250 ribu aku pinjam, 3 hari lagi aku ganti.”
“Gak ada. Duitku udah dipinjem, dan bulan ini aku rencana mau beli
laptop. Sisanya paling untuk peganganku juga.”
“Kamu beli laptop kapan?”
“Dalam minggu ini.”
“Aku pinjem dulu, janji 3 hari langsung aku balikin,” dengan tatapan sangat
meyakinkan seperti tukang hipnotis, dia menepuk pundakku, “Duitku udah gak ada,
bantulah bro. Cuman 3 hari aku pakainya, berapa bunga kamu minta, ntar aku
bayar.”
Aku yang perasaannya sangat halus dan sangat simpati terhadap orang
lain, apalagi dengan mukanya yang lemas dan memprihatinkan, akhirnya aku iyain.
“Yaudah, janjimu 3 hari aku pegang ya.” Ini keputusan paling bego yang
pernah kuambil dalam sejarah hidupku.
Hari berganti hari, sampai 3 hari berikutnyapun tiba. Aku ngechat si
anak kampret itu via WA, mengingatkan janjinya. Semoga dia tidak amnesia.
“Bro, sorry. Aku kecewain kamu kali ini. Tolong kasih aku kesempatan.
Dari temanku masih belum ditransfer sampai sekarang. Aku usahain besok sore
kalau udah masuk ke rekeningku, langsung aku kasih ke kamu.” Dia membalas
chatku setelah beberapa jam kemudian.
Jawaban yang lumayan kurangajar menurutku. Tapi sudah terlanjur. Aku
salah mempercayai orang. Harusnya aku mempercayai orang yang mukanya lebih
lemas dan lebih memohon dari si kampret itu.
Komitmen tetap komitmen. Aku tetap menghargai yang namanya komitmen.
Akhirnya aku mengajak teman kostku untuk pergi ke Roxy. Namanya Arif. Dia
tetangga kosku, punya helm Grab, dan
dia geblek.
“Rif, temenin gue ke Roxy besok ya, gue mau beli laptop.”
“lu buat apa Tong? Lu mau kuliah?”
“iya Rif. Temeninn gue ya. Gue gak hafal jalan ke Roxy.”
“Siyaapp Tong. Gampang. Kita berangkat sore aja, soalnya besok gue masuk
pagi.”
Besok sorenya kita berangkat ke Roxy. Aku yang mengira seorang Arif itu
sudah sangat hafal jalanan ke Roxy, secara dia sering keliling jalanan
Metropolitan, tapi ternyata tidak. Kita nyasar.
“Rif, gue nyalain google maps gak?” aku minta instuksi dari sang driver.
“Iya Tong, nyalain. Kita salah arah kayaknya. Ngomong mulu sih lu,
jadinnya kita nyasar.” Ngelesnya kaya suara ibu-ibu yang kalah harga cabe 500
rupiah.
“Hubungannya apa anjing??!!!! Ngomgong aja kalo gak tau jalan,” untung
aku cuman bergumam dalam hati.
Sekitar 20 menit setelah itu, kita sampai ke sebuah gedung bertulisan
Roxy. Kita nyari parkiran, dan kita masuk.
“Rif, yang kita cari duluan toilet ya.”
Dari pintu masuk menuju ke toilet, orang-orang disana memperlakukan kita
seperti artis.
“Mau cari apa mas?? Di tanya aja...”
“Sini mampir mas, mau cari HP merek apa?”
“Kita mau nyari toilet mba!!!”
Kita sampai di sebuah toilet yang sedikit aneh, modelnya seperti
labirin. Sedikit berbelit-belit seperti masuk ke dalam gang kecil. Aku dan Arif
tidak misah karna takut nyasar. Paling tidak kalau kita nyasar, kita masih bisa
teriak minta tolong berdua, nangis berdua, dan cari jalan pulang berdua.
Apasihh...
Kita naik ke lantai atas mencari arena laptop. Kita agak kaget dan
bingung melihat hampir 80 persen ruko di dalam gedung itu ditutup.
“Rif, ini beneran Roxy kan? Kok hampa gini?”
“Gak tau Tong. Kita keliling aja dulu.” Arif juga merasakan hal yang
sama.
Kita keliling di dalam gedung itu, mencari cayaha terang tempat laptop
berada.
“Bentar, gue tanya Satpam aja.” Aku menghampiri seorang Satpam yang
sedang duduk di samping eskalator.
“Pak, jual laptop di tempat ini kan ya?”
“iya mas. Adanya di sebelah sana.” Pak Satpamnya menunjuk arah yang tadi
kita lewati.
“Kok pada sepi gini ya Pak? Apa emang cuman ini yang kebuka? Atau lagi
pada libur?” Aku melempar bertubi-tubi pertanyaan ke Satpamnya, mengisyaratkan
aku sedang kebingungan.
“Emang cuman gini mas. Setiap harinya seperti ini.” Pak Satpamnya
sedikit bingung juga menjawab pertanyaanku.
Aku kembali ke Arif dan menceritakan informasi yang aku dapat dari Pak Satpam.
“Gimana nih. Kita cari kemana? Roxy sekarang PHP, terkenalnya pusat
elektronik, tapi ternyata kosong” Arif mengajak untuk pindah tempat dengan muka
agak kesal.
“Manga 2 aja Rif. 2 tahun yang lalu gue pernah main kesana. Laptop
banyak juga disana. Ntar kalo gak nemu, terakhhir kita ke ITC, kan sekalian
pulang.” Aku memberi rute perjalanan kita berikutnya.
Kita keluar gedung menuju perkiran mengambil motor. Sekitar 100 meter
meninggalkan gedung itu, di sebelah kanan jalan kita melihat gedung yang
lumayan mewah bertulisan ‘Roxy ITC’.
“anjing!!!! Rif, tadi kita salah gedung. Harusnya yang ini.” Aku nampol
helm Arif dan menunjuk gedung itu.
“Iya njir.... hahahhahah.”
Tanpa basa-basi lagi, arif langsung putar balik dan menuju parkiran
gedung yang kita cari-cari itu.
“Tong, tadi itu bukan Roxy yang PHP, tapi kita yang bego.”
Kita turun dari motor dan langsung menuju ke dalam gedung. Ternyata emang
benar, kita berdua yang bego. Ini gedung Roxy sang Raja Elektronik
yang sebenarnya.
Kita bertanya di beberapa toko, dan hasilnya hampir sama semua.
“Paling murah 3.5 juta Rif, dan gue cuman 3. Gimana ya?” aku dan Arif
berdiri diam di pertengahan ruangan itu.
“Kita keluar dulu deh,” Arif melangkah ke luar pintu dan aku mengikuti
dari belakang. Kita duduk di samping pot bunga yang berjejeran sedikit jauh
dari pintu masuk.
“Jadi gimana Tong? Jadi kagak kita beli?” Arif meminta kepastian.
“Gak tau deh Rif. Duit gue kurang gope. Gimana ya?” Aku sedikit kecewa dengan
perjalanan hari ini. Dan menyesal kenapa aku tidak googling tentang harga-harga
laptop paling murah sebelumnya, minimal kita tidak mengahabiskan waktu setengah
hari dengan sia-sia di tempat ini.
“Gini aja Tong, duit itu lu simpan, bulan depan kita kesini lagi.
Sabar!” Arif memberi solusi klasik.
“hakhhh..... Yaudah deh. Mau gimana lagi. Mungkin Tuhan punya kehendak
lain.”
Kalau sudah membawa nama yang Kuasa, Arif cuman bisa tersenyum.
“Yaudah, ayo balik. Kita nyari makan.” Arif memecah keheningan yang
terjadi selama beberapa menit.
Kita berdua jalan menuju parkir. Pulang.
Aku dalam perkara megang duit, tipe boros. Jadi, wajar kalau aku sangat
was-was dengan ATM berisi komitmen ini. Dan satu-satunya cara paling efektif,
meminjamkan duitku ke beberapa teman yang aku percaya.
Di awal bulan Agustus, ‘situasi dan kondisi’ berpihak kepadaku. Duitku utuh,
dan aku siap kembali menjelajahi Roxy.
Lagi-lagi aku menyiksa Arif untuk menjadi driverku berangkat kesana.
Tapi masalah baru datang, 3 jadwalku bentrok.
Hari itu hari Sabtu, 4 Agustus.
Tiga hari yang lalu aku sudah memastikan ke Arif kalau jadwal
berpetualang ke Roxy, besok, hari Minggu, karna itu jadwal off-ku. Tapi, karna masalah
lain terpaksa aku mengundur di hari Sabtu, mengingat Minggu dan beberapa hari
kedepannya aku akan lembur. Revisi ini terjadi di pagi hari.
Sementara, H-1 salah satu temanku mengabarkan kalau kita akan meet-up
jam 5 sore, besok, hari Sabtu.
Dan yang lumayan gokil, aku sudah janji ke ‘sang kekasih’, si jodoh orang lain, kalau malam minggu kita akan
jalan.
Rencananya aku akan menepati ke tiga-tiganya. Jam 3 sore aku pulang dari
kerjaan dan langsung menuju Roxy, jam 5 balik dan langsung meet-up sama teman-teman,
dan jam 7 malam meluncur ke janji terakhir.
“Rif, ayo. Kita langsung cus.” Aku langsung bangunin Arif yang lagi
malas-malasan di kamarnya karna hari itu dia off.
“Yaudah ayo. Cepet kan? Jam 5 kita ngumpul loh.”
“Kalo ke Roxy sempat gak ya?” Aku menatap Arif yang masih terdiam di
kasur. “Atau nggak kita ke Mangga 2 aja.” Aku memberi pilihan lain.
“Yaudah, gue mah oke-oke aja Tong.”
Dari beberapa temanku, hanya Arif yang selalu setia untuk jadi driver
dan rela menemaniku kemana aja. Tapi kita bukan homo.
Setelah kita berdua sudah siap, kita langsung menuju Mangga 2.
Sialnya, yang kita harapkan di Mangga 2 ternyata zonk. Kita muter-muter
sekitar 1 jam di dalam gedung biadab itu dan hasilnya nihil.
“gimana nih Rif, udah jam 5 lewat.” Aku mengkhawatirkan janjiku yang
berikutnya.
Sementara saat itu, HP ku bunyi, ditelpon oleh teman yang sudah pada
ngumpul.
“Tong lu ada dimana?” tanya temanku di dalam telpon.
“Gue lagi di luar sama Arif cuy, tadi mendadak, bentar lagi kita balik.”
Sambungan telppon dimatiin, gak tau lagi kesal atau apa, yang pasti di
ujung-ujung omongannya, kedengaran nada agak tinggi.
“Rif, kita gimana? Lu mau kita balik apa lanjut ke Roxy?”
“Kalo menurut gue Tong, kita balik aja. Jarang-jarang kan kita ngumpul
sama anak-anak.” Arif sepertinya 70% pengen balik dan menunda perjalanan yang
sudah setengah jalan ini.
“Kalo gue, pengen lanjut ke Roxy.” Aku menyahuti pendapat Arif.
“Tapi gue sih terserah. Gue lagi bareng lo sekarang. Jadi, mau lo
gimana, gue ikut aja.”
Ini karakter yang aku suka dari seorang Arif. Walaupun aku sedikit
terlihat egois, tapi Arif tetap ada bersamaku. Dan kita bukan homo.
Kita langsung cus ke Roxy, masih dengan bantuan google maps.
Sampai di sana, kita bertanya di beberapa toko, dan akhirnya nemu yang
pas. HP ku dan HP Arif mengalami krisis batery, jadi kita tidak tau segala
konsekuensi yang terjadi atas keputusan yang kita ambil berdua untuk tidak
meet-up sama teman-teman.
Menunggu proses instal beberapa program di laptop yang akan kita bawa,
di sana kita lumayan lama. kita balik dari sana sekitar jam 8 malam.
“Kita kemana setelah ini, terserah lo Rif.” Aku melepas perjalan
berikutnya ke tangan Arif.
“Kita ke Sunter Tong, nyari makan.”
“Oke boss!!”
Kita berdua makan dan nongkrong di Sunter layaknya LGBT yang lagi
menjalin kasih di malam Minggu. Banyak cerita tercurahkan bercampur dengan kuah
soto yang kita makan.
Kita pulang dan sampai di kost sekitar jam 10 malam.
Aku ngecas dan menyalakan HP. Membuka beberapa chat masuk dan panggilan
tak terjawab dari ‘si jenong, bidadari tak bersayap itu’. Wowww... aku lupa
sama janji yang ketiga.
Kayaknya anak itu ngambek lagi! Siap-siap aja untuk tidak bertukar kabar
beberapa hari ke depan.
Beberapa hari berikutnya, aku bercerita kepada teman-teman dan
orang-orang yang merasa aku kecewain saat itu; bahwa semua itu hanya karna
komitmen.
Saat itu aku punya 2 janji, janji pada diri-sendiri dan janji pada orang
lain. Aku tidak bisa menepati kedua-duanya disaat yang besamaan. Ketika aku
menepati salah satunya, maka salah satu juga akan tertunda. Dan dalam kondisi
seperti itu, aku memilih komitmen, janji pada diri sendiri. Semoga mereka
paham.
***