Tragedi nongkrong di bawah pohon

Hari itu, hari pertama aku cuti setelah lembur kerja selama 8 hari.  Tau kan rasanya lembur 8 hari? Jam istrahat sudah sangat di bawah rata-rata. Saatnya aku membalasnya, menikmati tidur sepanjang hari, sampai badan pegal karna guling-guling gak jelas di atas kasur.

Malamnya, aku mulai menyadari bahwa kehidupan di dalam kamar seharian sama sekali tidak berfaedah. Aku mengajak Soin, teman kos ku, untuk nongkrong di tempat biasa aku menyendiri. Menikmati segelas kopi dan suara brisik motor yang lalu-lalang di hadapan kita berdua. Aku rasa, itu lebih sedikit berfaedah.

Aku dan Soin menikmati sedikit demi sedikit kopi itu sambil main hp. Melihat status whattsApp makhluk-makhluk yang ada di kontak HPku.

"Eh, temanku tadi pulang sore ya, pantes statusnya lagi jalan-jalan. Aku ajak kesini ah." Tatapanku masih di layar HP ketika aku ngomong begitu.

Salah satu teman kerjaku namanya Rini. Dia asik, dan berjidat lebar. Cowonya orang Jakarta, berkulit hitam dan pea, namanya Dwi. Aku tau itu karna dia sering main ke tempat kerjaku untuk menjemput Rini.

Sedikit tentang cowo Rini, orangnya petakilan, dan pedenya tinggi. Bagi Dwi, dikatain hitam bukanlah hinaan, tapi kebanggaan.

Aku langsung chat Rini untuk nanya posisinya sedang dimana, dan ngajak ke tempat aku ngopi.

Rini membalas dengan mengirim foto. Foto mukanya yang sedang di atas motor, dengan pemandangan di belakangnya monas. Modelnya agak blur gitu, Rini gak cocok jadi fotografer kalau lagi di atas motor.

"Teman kamu yang mana To?" Soin bertanya.

"Yang cewe, kamu belum pernah liat. Dia asik. Dia lagi jalan sama cowonya. Cowonya asik juga."

"Emang mereka lagi dimana?"

"Lagi di Monas kayaknya."

"Ngapain?"

"Gak tau, mulung kali!"

Rini kembali ngechat aku dan bertanya aku ada dimana. Aku membalas dengan share location ke Rini. Dia otw.

Sambil menunggu Rini dan cowonya, kopi pertama habis dan kita berdua memesan kopi baru lagi.

Belum sempat aku seduh, mereka datang. Seperti layaknya cowo pada umumnya, cowonya Rini turun dari motor dan sok asik menyapa kita berdua. "Oyy whats up!!!," sambil salto 3 kali trus nyalamin kita berdua.

"Sok asik lu," aku balas sambil persilahkan dia duduk.

Aku berdiri sambil melepas sedikit penat yang terasa di pantatku karna kelamaan duduk. Gak sengaja kopi jatah ke 2 ku kesenggol dan tumpah.

"Yahhh... tumpah. Sayang banget belum diseduh," aku bergumam dengan ekspresi kecewa yang sangat dalam.

"Mau kopi apa? Sekalian aku mesan kopi lagi." Aku seperti tuan rumah menawarkan mereka berdua minum.

"ABC," dengan bangga cowonya Rini Menyebut nama kopi kesukaannya, seolah itu merek kopi terbaik dan pilihannya tepat.

"Lo apa Rin?" Aku nanya ke Rini juga, yang pas datang langsung duduk, buka HP, trus selfie.

"Susu aja dia mah," cowonya menjawab pertanyaan hang harusnya aku tujukan ke Rini.

Kemudian aku memesan kopi ke 3 ku dan juga kopi mereka berdua.

Biasanya kalau nongkrong begini, aku lebih suka berhadap-hadapan sama lawan bicara dari pada duduk berjejeran sembil membengkokkan leher ke kiri untuk menatap lawan bicara. Apalagi kalau penuh dengan canda tawa, bayaran yang kita keluarkan dan yang kita dapatkan untuk apresiasi terhadap lawakan-lawakan receh yang terselip dalam omongan kita saat berdialog bareng-bareng, lebih sempurna kalau kita berhadap-hadapan. Itu sebabnya aku lebih memilih duduk di bawah pohon yang ada di hadapan mereka.

Paragraf yang barusan, sama kaya 'cewe kasih kode', susah dipahami.

Sebenarnya ini pertama aku nongkrong bersama Dwi. Kita beradu argumen-argumen konyol layaknya 2 orang pecicilan bertemu. Kita bertiga saling mengeluarkan lawakan-lawakan receh, sedangkan Rini sibuk selfie.

Bagi Rini selfie itu kebutuhan, setelah pangan, sandang dan papan.

Sekitar 1 setengah jam kita disana, aku seperti merasa ada yang beda. Rasa pusing agak berasa di kepalaku, tapi aku tidak menghiraukan itu. Aku berdiri dari tempat duduk, dan pusing itu semakin ada.

'Kenapa harus pusing sih disaat lagi asik-asiknya gini?' aku bergumam dalam hati. 'Anjir, efek belum makan seharian ini kayaknya' aku baru sadar kalau seharian itu aku cuman makan popmie.

"Gue balik duluan ya, gue pusing banget," aku ngerasa kalau pusingku makin nambah.

"Lo kenapa To, lo pucat loh!" Dwi ngeliatin aku sambil ngeledekin kecil gitu.

"Iya ka, mukanya pucat banget tuh," Rini juga nyahut dan memandang anak-anak yang lain untuk meminta persetujuan atas argumennya.

"Soin, kita balik gih. Kamu yang bawa motor," aku nyodorin kunci motor ke Soin.

"Yaudah To, kita juga mau balik. Buru sana, takut lo mati disini," Dwi dengan muka bahagia nyuruh aku balik. Dia seperti mendapat bahan ledekin baru saat bertemu aku selanjutnya.

Aku naik motor, dibonceng sama Soin, sambil pamit ke mereka berdua.

Di jalan aku hanya diam di motor.

Sampai kos aku langsung berbaring, menenangkan tubuhku sebentar. Sementara Soin, tidak langsung ke kos. Sepertinya dia tau apa yang aku butuh. Memesan 2 nasi goreng.

Soin datang dan menyuguhkan obat yang dia bawa. Aku bangun, dan makan. Entah kenapa pusing dan pucatku langsung hilang. Saat itu aku menyimpulkan bahwa nasi goreng selain mengobati rasa lapar, juga bisa mengobati rasa pusing dan muka pucat.

Selanjutnya aku hanya bisa pasrah menerima ledekan dari Dwi, si anak keling. Dimana hubungan antara kopi dan pohon adalah pucat.
***

Mungkin Kamu Suka

Patah Hati dalam Rangkaian Kata: "Patah Hati Yang Kau Berikan"

Selamat datang para pembaca setia, Kali ini, mari kita tertawa sedikit meskipun membahas sesuatu yang serius. Kita akan membahas puisi yan...