Korban Cuaca

Ini berawal sejak hari Jumat lalu, ketika gue masuk kerja jam 7 pagi sendirian. Teman gue masuk jam 9 pagi. Dia datang dengan muka sedikit tak bersahabat karna kerjaan pagi yang seharusnya beres sampai jam 9 ternyata masih berantakan. Gue melihat dia sambil tersenyum sebagai tahap pertama menjinakkan petasan yang hampir meledak itu. “Eh, lu dateng. Tadi rame banget.”

“Masa. Roti masih banyak,” dia masih menggunakan nada manusia normal pada umumnya.

By the way, gue kerja di sebuah toko Bakery di Jakarta Pusat.

“DO roti hari ini lumayan banyak, gak kaya biasanya,” gue mencoba meyakinkan dia dengan muka ekspresi kelelahan.

Dia meletakkan tasnya, terus ngecek sales pagi itu di komputer, “katanya rame, salesnya kok masih kecil gini?” Suaranya seperti detektif.

“Maksud gue costumernya yang rame. Belinya mah dikit,” gue ngomong itu sembari jalan pura-pura mau ke toilet, menghindari ledakan petasan yang hampir mirip kaya ibu kost.
***
Alasan utama gue kenapa pagi itu kerjaan gak beres, karna gue flu. Gue sibuk ngelap ingus gue yang meler dan sangat mengganggu. Eh, jorok ya?? Yaudah, tulisan ini khusus 18 tahun ke atas.

Dari pagi sampai siang, gue menghabiskan setengah bungkus tissue. Hanya untuk menjaga pemandangan mata orang-orang yang melihat muka gue. Mungkin kalo gue di rumah, gue bodo amat sama ingus bangsat yang meler ini. Gue biarin, gue pengen tau dia mengalir sampai mana.

Flu yang menyiksa itu menyertai gue hingga malam. Gue jadi merasa pusing. Akhirnya malam itu gue tidur cepet. Naroh kain hitam di sebelah kepala gue untuk jaga-jaga bila ingus gue meler lagi. Dan ternyata, tidak. Tidak ada ampun pada kain itu. Paginya penuh dengan magma bening dari hidung gue. Itu perlakuan sadis yang pernah hidung gue lakukan.

Ketika pagi gue tebangun, harapan besar gue adalah sehat. Seperti biasanya tanpa flu dan rasa pusing. Tapi realitanya bukan seperti itu. Gue masih ngerasa pusing, dan hidung gue masih tersumbat. Tapi bagaimanapun juga, sebagai laki-laki normal, gue harus tetap tegar dan kuat untuk bisa bangun nyariin HP dan beranjak ke toilet.

Sabtu itu gue masuk pagi. Gue berangkat kerja, sialnya di tengah jalan gerimis. Gue mau cerita gimana rasanya cairan dibawah lubang hidung yang sedikit keluar bercampur dengan rintik hujan. Rasanya hampir mirip kaya kuah sayur sop kekurangan garam.

Sebelum sampe di tempat kerja, gue mampir ke Ind*maret. Gue membeli obat flu sama larutan penyegar. Yang paling gue gak suka dari kasirnya ketika dia mengetakan, “Sekalian pulsanya mas?”

“Mbak, gue lagi flu dan gak butuh pulsa. Dan gue bukan mas-mas.”

“Siapa tau butuh mas.”

“Gue bukan mas woi!!!!”

Seharian gue ditempat kerja sangat tidak nyaman dan ingin cepat pulang. Berharap gue melewati yang 10 jam itu cuman dengan durasi menghabiskan segelas kopi. Tapi nyatanya tidak. Lama banget. Lamanya serasa 10 X 60 menit.

Biasanya disetiap malam minggu gue gak pernah berdiam di kontrakan. Minimal gue keluar dan nongkrong sendirian di samping abang tukang kopi, pinggir jalan. Ngobrol-ngobrol sama tukang kopinya. Ngebahas apa aja yang keluar di pikiran kita berdua. Kadang ngebahas kenapa kopi enaknya diminum kalo lagi panas, ngebahas kenapa disetiap tukang kopi yang pake sepeda selalu disertai kacang di stang sepedanya, juga pernah ngebahas kenapa yang pacaran sukanya tempat redup. ”Karna cinta butuh kegelapan,” itu kata abang tukang kopinya.

 Malam ini, gue pulang kerja, langsung tidur. Dan kemungkinan gue ngorok.

Gue terbangun jam setengah 10an. Kakak gue minta dijemput dari tempat kerjanya. Gue bilang gak bisa, dengan alasan gue gak enak badan. Dan gue mikir, itu alasan paling bego kalau dipake di malam minggu. Tpi, gue males cari alasan lain. Itu tandanya gue rela dikatain bego malam itu.

Besok, hari minggu, gue masih sama. Masih ngerasa pusing dan flu. Pagi mingguya gue minta dikerok sama kakak gue. Sekalian gue dipijitin. Sedikit lega rasanya. Kata kakak gue, punggung gue licin dan agak lengket. Gue diem aja pura-pura gak denger, takut dia tau kalo gue belum mandi 3 hari.

Sore minggunya gue keluar mencari makan. Gue makan bakso. Gue pura-pura strong untuk masalah pusing itu. Gue seolah teriak pada dunia bahwa gue baik-baik saja, padahal wajah gue pucat. Dengan santainya gue menghabiskan bakso itu. Dan ketika mau bayar, gue ngomong ke abangnya, “Baksonya tadi kurang pedes bang,” gue ngomong sambil ngelap keringat yang dari tadi bercucuran. Abangnya melirik gue dan tersenyum. Mungkin dalam hatinya berkata, “Wah… anak ini hebat! Sambel 5 sendok gak berasa!!”

Gue melewati hari Senin dan Selasa masih di bawah jajahan flu dan rasa pusing. Gue mulai terbiasa dengan kedua penyakit kurang ajar itu. Gue tetap menjalani aktifitas dengan sok kuat, tanpa terbeban oleh kedua penjajah itu.
Rabu pagi gue baru ngerasain bernafas dengan sempurna kembali. Mungkin karna gue cuekin, flu dan pusing jadi gak enakan dan pergi dengan sendirinya. Tapi, entah kenapa batuk datang menghampiri. Mungkin flu ngadu ke batuk tentang perlakuan gue yang tak menganggap mereka ada.

Penyakit terbangsat menurut gue itu, batuk dan flu. Karna yang dua ini gak mau dipisah.
***
Sehari setelah itu, gue menulis tulisan ini. Tulisan sampah. yang ketika orang selesai membaca tulisan ini pasti menyesal karna waktunya terbuang untuk beberapa saat.
Ya… itu sudah pasti.

Cerita dalam gambar || 3. Hari pertama jadi alumni


Foto ini lahir sekitar bulan April 2014, hari terakhir gue di SMA. Jadi, tiga hari setelah UN besoknya kita ke sekolah. Dan yang terjadi, ruang kelas kita udah didiami oleh anak-anak kelas 10  yang sebelumnya ruang kelas mereka lebih hina dari ruang kelas lain. Baru sehari, kita sudah dianggap alumni.

Dengan tidak diterimanya kita oleh para guru dihari itu, akhirnya kita bermarkas di kantin sudut sekolah. Kita memesan bakwan terakhir di kantin itu karna berikutnya kita gak jajan lagi ke situ.

Kita pulang sekitar jam 10 pagi. Di jalan kita berencana untuk main ke rumah salah satu teman kita, berharap kita di tawarin untuk makan siang di sana. Sampai di rumah yang penuh harapan itu, kita sepakat untuk membuat mie instan dan patungan untuk membelinya.

Kita sekitar  8 orang. Yang ngurus mie anak-anak cewek, sedangkan kita, cowok, menghabiskan waktu kebersamaan terakhir itu dengan seru-seruan. Salah satu keseruannya seperti di foto ini.

Foto ini diambil ketika gue dan Darwin (makhluk terpendek di kelas gue dulu) berhadapan. Gue minta teman gue yang sedang megang hp untuk fotoin. Dengan tiba-tiba gue melakukan tendangan  kearah kepala Darwin. Setelah melakukan itu, gue hampir terjatuh dan merasakan sakit di selangkangan.

Setelah hari itu, gue dan Darwin gak pernah ketemu sampai tulisan ini gue buat. Mungkin akan bertemu, tapi bukan sekarang.
***

"WAKTU" puisi tentang apa yang saya butuh

Saya bukan orang yang suka berpuisi. Saya juga tidak pinter di pelajaran bahasa Indonesia. Tapi, di beberapa situasi, saya kadang suka mendengarkan atau membaca puisi yang berkaitan dengan kehidupan saya. Agak luci sih dengarnya. Gak suka tapi kadang-kadang. Gak tau lah, itu namanya apa. Yang pasti pas lagi nulis paragraf pertama ini, saya lagi ngopi di tepi danau sunter.

Kemudian saya lanjut menulis paragraf kedua ini di warung kopi tempat biasa saya nongkrong, sambil menikmati segelas kopi dan terik matahari yang sedang merayap di punggung saya. Bentar, tirainya saya turunin dulu.

Oke. Kita masuk ke topik. Saya menulis puisi ini setelah kepulangan saya dari kampung bulan Desember kemarin. Seperti cahaya ilahi yang merasuki tubuh saya, kemudian merambat ke otak dan perasaan, dan berujung pada kedua jempol tangan untuk ditumpahkan semuanya ke catatan hp dalam bentuk kalimat-kalimat indah, dan itu saya sebut puisi.

Ehm. Mungkin kalimatnya saya tulis lebih ringan untuk mudah dicerna. Jadi saya nulis puisi ini sesuai dengan apa yang saya rasakan setelah kepulangan saya dari kampung bulan Desember kemarin.

Yaaa, gitu lah pokoknya.

Waktu saya pulang kampung itu, saya mendapat banyak kejutan. Mulai dari perubahan yang saya lihat, segala tamparan yang berupa nasehat, dan juga sekumpulan janji yang teringat kembali saat itu. Seolah pikiran saya mengantar saya kembali ke masa lalu, ketika saya masih dalam sebuah tempurung, dan di dalam sana saya teriak tentang segala mimpi yang ingin saya gapai. Indah sekali.

Ketika saya kembali lagi di tempat ini, saya  tersenyum dan mengingat kembali apa yang terjadi. Seperti mimpi. Saya pulang kampung dan segala yang saya rasakan itu seperti mimpi. Durasinya gak berasa.

Dari mimpi saya yang berupa kejutan itu, saya mencoba membuatnya dalam puisi. Sesuai dengan realita yang saya rasakan saat ini.
***

Waktu

Sebuah dilema yangk tak tunanti
Datang. Mendekat menghampiri
Satu ikrar yang kubisikkan
Lewat. Berlalu dan terlupakan

Aku tersenyum. Lambang aku mengalah
Merelakan waktu yang menjadi nakhoda
Waktu yang akan jadi tuan
Aku tak membantah

Ini tentang waktu
Jika aku merenung
Aku akan terpenjara
Terjebak dalam khayalanku
Khayalku. Tak pernah akur denganku

Sang waktu,
Aku mencoba terlelap
Tidur nyenyak di pangkuan waktu
Walaupun aku sadar
Keinginanku, bukan tentang tidur
Tapi itu yang aku butuh

"Titto Telaumbanua"

***

Saya membuatnya juga dalam bentuk video. Komentar dan kritiknya saya tunggu.


***
Terima kasih telah berkunjung. 🙂🙂🙂🙂🙂
#lanjutngopi

Hal Yang Membuat Saya Bangga Jadi Anak Nias di Perantauan

Facebook adalah jaringan sosial yang selalu setia menghubungkan saya dengan teman-teman SMA saya setiap saat. Namanya Brian, teman saya waktu SMA, dia berkaca mata dan hobi melukis. Dia juga ngefans sama Iko Uwais, Wiro Sableng dan Barry Prima.

Tulisan ini berawal dari postingan Brian di Facebook yang ngetag saya, gambar lompat Batu Nias. Setelah saya buka dan saya baca caption dari gambar kiriman Brian itu, saya jadi tau, Brian membuat usaha baju kaos yang bergambar etnik Nias. Awalnya saya gak begitu tertarik dengan kaosnya itu. Entah kenapa, gak ada alasan pasti. Mungkin kalau dia buat kaos yang bergambar Wiro Sableng, saya baru tertarik.

Brian juga membuat akun instagram tentang usahanya itu, Famaedo. Saya tau karena hampir di setiap postingan dia selalu tag saya. Jadi, dinding FB dan notifikasi IG saya telah dibajak sama gambar-gambar yang menurut saya tak berfaedah oleh fansnya Iko Uwais. Rasanya pengen saya teriakin di telinga anak itu, “Bikinnya kaos yang ada gambar kapak 212 dulu, baru aku suka.”

 Sekitar pertengahan bulan Maret yang lalu, Brian menghantui saya lewat WhatsApp dengan gambar kaos yang baru dia upload ke IG. Saya masih ingat, saat itu saya baru pulang kerja, saya buka hp dan ngeliat kirimannya. Sedikit saya jadi penasaran. Kemudian saya membuka IG dan mencari nama IG Famaedo, akun IG bisnis yang paling mulia itu.

Sekitar 10 menit waktu saya terbuang di sana, saya kembali buka WA dan ngechat Brian, “Bro, aku pesan 1.” Entah kenapa cuman dalam waktu 10 menit saya berhasil terhipnotis oleh gambar-gambar yang ada di akun IG Famaedo itu. Dengan emoticon senyum, Brian membalas chat saya. Sekitar 20 menit kita chattan, akhirnya menemukan titik akhir bahwa saya pesan 2 kaos warna hitam dengan harga Sahabat.  Saya pesan kaos hitam lengan pendek, dan kaos hitam lengan panjang. Saya sebagai makhluk yang bogel merasa pas dengan pilihan itu.

Akhirnya pesanan saya sampai, dengan tulisan JNE di bungkusannya.

“Keren,” itu komentar pertama teman saya ketika dia melihat kaos pesanan saya. Selain dari bahan kaosnya yang bagus, juga karena gambarnya yang keren-keren khas daerah Nias. Teman saya jadi pengen punya kaos kaya gitu. Dia jadi berminat juga untuk memesan kaos khas Banjarnegara, tempat kelahirannya.

Penyesalan saya setelah memiliki kaos etnik khas Nias itu adalah kenapa saya baru memilikinya?
Sebagai anak Nias yang merantau di kota Metropolitan, dengan memakai kaos yang bergambar unik serta  tulisan 'Nias' yang berukuran besar, setiap orang meliat dan membaca tulisan di kaos saya, entah kenapa ada suatu kebanggan yang saya rasakan. Tulisan dan gambar itu, seolah mewakili saya untuk mengatakan, “aku anak rantau yang berasal dari Nias.”

Kita anak Nias, yang berasal dari daerah yang unik, punya budaya yang unik, ras yang unik, ciri fisik yang unik di Indonesia, pasti bangga ketika orang lain melihat dan sambil tersenyum menegur kita dengan, “kamu orang Nias ya?” 

Mungkin Kamu Suka

Patah Hati dalam Rangkaian Kata: "Patah Hati Yang Kau Berikan"

Selamat datang para pembaca setia, Kali ini, mari kita tertawa sedikit meskipun membahas sesuatu yang serius. Kita akan membahas puisi yan...